Opini – Belakangan ini, fenomena perceraian sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana tidak, hampir setiap hari kita menyaksikan pemberitaan terkait tingginya angka perceraian.
Tentu saja, fenomena ini menjadi perhatian semua pihak karena akan berdampak terhadap keberlangsungan generasi mendatang. Dalam jangka panjang fenomena perceraian akan menjadi ancaman serius bagi kemajuan bangsa dan negara.
Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air mencapai 447.743 kasus pada 2021, meningkat 53,50% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat oleh pihak istri. Sementara itu, sebanyak 110.440 kasus atau 24,66% perceraian terjadi karena cerai talak oleh pihak suami (red, Katadata.co.id, 28/2/2022).
Data tersebut menginformasikan bahwa perceraian terus merangkak naik dari tahun ke tahun. Banyak faktor yang melatarbelakangi meningkatnya perceraian, seperti perselingkuhan, masalah ekonomi, media sosial, ketidakharmonisan dan lain-lain.
Salsabila dan Nunung (2021) menyebutkan, faktor penyebab perceraian cenderung disebabkan oleh permasalahan ekonomi, ketidakseimbangan aktivitas dan waktu bersama, berubah pola komunikasi, serta faktor usia dalam membina rumah tangga.
Dalam hukum Islam, perceraian adalah perbuatan yang dilakukan oleh pasangan suami-istri ketika hubungan rumah tangganya tidak dapat diselamatkan kembali dan jika diteruskan akan menimbulkan kerusakan bagi keluarga dan lingkungannya. Namun, jika masih bisa diselamatkan, maka upaya itu harus ditempuh demi keutuhan rumah tangga mengingat perceraian merupakan tindakan yang dibenci oleh Allah meskipun hal itu halal.
Undang-undang perkawinan juga tidak melarang perceraian selama tidak ditemukan jalan atau solusi dari persoalan yang dihadapinya. Perceraian tersebut juga harus dilakukan dengan cara-cara yang baik di hadapan sidang pengadilan. Yang tidak kalah penting lagi pihak suami tetap memenuhi hak-hak istri terutama anak-anaknya. Sebab, setiap kali terjadi perceraian akan terjadi orang miskin baru yang namanya perempuan (janda) dan anak-anak yang salah satu penyebabnya karena tidak terpenuhi hak-hak anak tersebut.
Mencari Solusi
Usman (2006) menyatakan, dalam Pasal 39 Undang-Undang tentang Perkawinan menyatkan bahwa: (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) untuk melakukan perceraian itu harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Ini berarti Undang-Undang tentang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
Pada dasarnya semua agama memandang negatif perceraian karena menimbulkan kesengsaraan, lebih-lebih bagi anak yang ditinggalkannya. Sebagai agama yang sempurna, Islam mendorong kepada pasangan bermasalah untuk selalu mencari solusi dalam menyelesaikan persoalan rumah tangganya. Jika pihak keluarga tidak mampu mendamaikan pasangan suami-istri yang bermasalah, maka bisa mengundang pihak ketiga sebagai penasihat agar keutuhan rumah tangga bisa diselamatkan.
Upaya mendatangkan pihak ketiga (penasihat) sudah ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surah An-Nisa ayat 35; “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.”
Cara lain untuk menghindari perceraian dan memperkuat pernikahan adalah menjaga komunikasi. Kesibukan masing-masing pasangan sering menyebabkan komunikasi menjadi renggang karena berkurangnya intensitas mengobrol antarkeduanya. Karena itu, bangun dan luangkan waktu beberapa menit untuk membicarakan sesuatu, terutama terkait keluarga atau pekerjaan. Langkah ini penting untuk menjaga komunikasi dan keharmonisan suami-istri.
Selain itu, pasangan suami istri harus bisa saling menghormati. Hal ini penting karena seiring berjalannya waktu sebuah pernikahan akan mengalami perubahan. Karena itu, saling menghargai dan menghormati keberadaan masing-masing akan memperkuat hubungan pernikahan.
Keluarga adalah sebuah pilar penting dalam mencetak generasi yang berkualitas. Dalam konteks ini, bangunan yang bernama keluarga tidak boleh rapuh. Hubungan keluarga yang retak akibat perceraian perlu dihindari dan dicarikan solusinya. Karenanya, eksistensi pernikahan harus tetap dijaga karena ia akan menjadi barometer kemajuan bangsa. Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis : Arie Muhyiddin, S.H., M.H ; Ketua Gerakan Pemuda Al-Washliyah Kota Palembang