BarometerNews – Sebuah teori dalam Ilmu Ekonomi disebut teori keseimbangan pasar, dimana ada kesepakatan antara pembeli/permintaan (demand), dengan penjual/penawaran (supplay). Kesepakatan yang dimaksud disini terbentuknya harga keseimbangan dimana titik temu permintaan dan penawaran bertemu yang biasa kita sebut dengan titik equilibrium. Dalam titik equilibrium ini asumsinya harga oleh keduabelah pihak disepakati, karena antara barang yang diminta dengan yang yang akan dijual ada dan sama keberadaannya.
Kondisi ini ternyata tidak selamanya ideal dan stabil, dalam perjalanan periode waktu satu tahun ada saja yang mengganggu keseimbangan pasar. Misalnya adanya pandemi Covid 19, ada moment tertentu baik rutinitas maupun muncul tak menentu, seperti menjelang Tahun Baru Masehi, menjelang Bulan Suci Ramadhan (Puasa), menjelan Lebaran Hari Raya Idul Fitri, ini sering terjadi gangguan keseimbangan pasar pada produk yang berkaitan dengan moment tersebut, adanya musibah (gempa bumi, banjir, longsor, dan lainnya), Kondisi riil ini biasanya terjadi tingkat permintaan lebih tinggi daripada tingkat penawaran atau bahasa sehari-harinya yang mau membeli lebih banyak daripada ketersediaan barang yang akan dibeli. Ini akan menyebabkan terjadinya kelangkaan (scarcity) dampaknya harga akan naik. Ketika harga naik maka implikasinya banyak ke berbagai aspek kehidupan di masyarakat.
Muncul pertanyaan, siapakah yang bertugas menjaga keseimbangan pasar pada berbagai produk terutama produk kebutuhan pokok masyarakat Indonesia ?. Jawabannya tentu yang memiliki otoritas kebijakan yaitu pemerintah. Apakah hanya pemerintah saja ?, tentu tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat harus ikut andil dalam rangka menjaga keseimbangan pasar. Hanya saja ada porsinya masing-masing dalam menjalankan tugas ini.
Ketika di awal Pandemi Covid 19 Tahun 2020, terjadi goncangan terhadap keseimbangan pasar pada produk susu bayi, produk handsanitizer, produk obat serta vitamin untuk menjaga stamina tubuh. Kemudian terjadi lagi menjelang akhir Tahun 2021 sampai saat ini goncangan keseimbangan pasar yang dahsyat terhadap produk minyak goreng. Penulis khawatir akan berlanjut sampai awal Bulan Mei 2022 karena disitu ada peluang besar tingkat permintaan kebutuhan pokok tinggi yaitu masuknya Bulan Suci Ramadhan yang pada kenyataannya pengguna produk kebutuhan pokok tersebut bukan saja umat Islam yang menggunakan minyak goreng, akan tetapi umat non Muslim yang memanfaatkan moment ini untuk berwirausaha membuat dan menjual kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan di Bulan Suci Ramadhan, juga moment lebaran (Hari Raya Idul Fitri 1443 H).
Fenomena yang sedang terjadi saat ini yaitu langkanya minyak goreng dan mahalnya harga minyak goreng menjadi masalah besar bagi masyarakat pengguna akhir minyak goreng termasuk para pelaku UKM dan UMKM. Ketika terjadi fenomena ini tentu peran pemerintah yang memiliki otoritas dalam mengambil langkah dan kebijakan sangat diperlukan dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Pengawasan terhadap pasokan bahan baku atau barang jadi (minyak goreng) terus dipantau, jangan sampai yang seharusnya masuk ke industri, tapi bocor ke pihak yang bukan peruntukannya. Termasuk penetapan kebijakan Harga Eceran tertinggi (HET) pada produk minyak goreng.
Kesempatan ini penulis ingin menelaah salah satu fenomena yang terjadi di masyarakat tentang minyak goreng. Jika dilihat dari sisi pemerintah sudah jelas tugas dan fungsinya tinggal laksanakan, jika memang harus merubah HET ya itu kan tugas pemerintah. Jika memang ada oknum penimbun minyak goreng dan harus ditindak, monggo ditindak sesuai ketentuan yang berlaku. Ini artinya dari sisi pemerintah sudah jelas tugas dan fungsinya dan banyak dikupas dan dibicarakan oleh para pakar di berbagai media masa.
Ada satu yang jarang ditelaah dan dikupas tuntas yaitu ketika terjadi sebuah bencana seperti pandemi Covid 19, bencana alam atau meoment tertentu masyarakat secara psikologis mudah terpengaruh, muncul ketakutan yang berlebihan dalam pikirannya takut kelaparan, takut tidak kebagian minyak goreng sehingga tidak bisa masak, dan lain-lain. Sehingga munculah sebuah perilaku dalam ekonomi disebut panic buying yaitu membeli atau berbelanja terhadap barang tertentu yang berlebihan, melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Panic buying ini juga dilakukan oleh para pedagang kecil pelaku UKM dengan alasan khawatir lusa tidak kebagian minyak goreng, dan khawatir harganya mahal.
Fenomena panic buying ini disadari atau tidak disadari memberikan dampak negatif dari bebagai sisi. Dari sisi ekonomi dengan banyak orang yang berbelaanja berlebihan ini sama saja dengan membuat stok minyak goreng, apalagi jika pelaku UKM yang memang sengaja membeli untuk stok di gudang, jelas ini akan muncul yang namanya kelangkaan (scarcity).
Dalam ilmu ekonomi ketika terjadi kelangkaan barang, sedangkan tingkat permintaan terus meningkat, maka harga produk (minyak goreng) akan naik. Jika kelangkaan terus berkepanjangan, harga minyak goreng bukan naik lagi tapi berubah harga bisa dua kali lipat kenaikannya. Jelas secara ekonomi keseimbangan pasar terganggu yaitu antara tingkat permintaan (demand) dengan tingkat penawaran (supplay) tidak sama atau tidak seimbang.
Masyarakat kecil yang hanya untuk konsumsi akhir saja pada menjerit, barangnya langka harganya melambung tinggi. Jika dilihat sepihak dari sipenimbun memang dapat uang banyak, tetapi pemerataan secara ekonomi (kemakmuran) tidak akan terjadi. Model perekonomian seperti ini tidak baik, banyak rakyat kecil menjerit, bersedia ngantri berjam-jam kepanasan dan kehujanan untuk dapat seliter dua liter minyak goreng, sedangkan Indonesia merupakan produsen bahan baku minyak goreng terbesar di dunia, akan tetapi rakyatnya tidak bisa menikmati kemakmuran yang nyata. Oleh karena itu mari kita sebagai masyarakat yang baik, kondisi seperti ini kita jangan melakukan panic buying (belanja yang berlebihan), belanjalah sesuai kebutuhan, kita jangan terpancing membuat perilaku kita menjadikan tingkat permintaan jadi lebih besar dan mengalahkan penawaran minyak goreng tersebut yang mengakibatkan harga akan naik melambung tinggi.
Dampak fenomena lain dari perilaku panic buying yaitu dari sisi sosial jelas minyak goreng jadi langka mengakibatkan harga naik rakyat menjerit merasa kemahalan bahkan ada yang tidak mampu membeli minyak goreng tersebut. Secara sosial rasa kemanusiaan, saling menolong, saling menghargai, saling mengasihi jelas dan nyata tidak ada. Disadari atau tidak, ini sudah tidak berperikemanusiaan. Rakyat kecil menjerit, rakyat jelata meronta hanya sekedar ingin membeli satu liter minyak goreng. Jika kondisi masyarakat sudah menjerit, khawatir akan muncul kriminalitas dari masyarakat itu sendiri karena memang benar-benar terjadi pailit, atau ada yang memanfaatkan situasi yang dapat merugikan orang lain sebagai akibat dari turunan dari panic buying.
Penulis mengkhawatirkan ini akan berlanjut sampai dengan bulan Mei 2022 masuknya Bulan Suci Ramadhan bagi Umat Islam khususnya dan warga masyarakat Indonesia pada umumnya dan lebaran (Hari Raya idul Fitri 1443H). Mari kita hindari perilaku panic buying belanjalah sesuai kebutuhan, tidak berlebihan. Apalagi bagi Umat Islam, bukankah dengan menjalanlkan Ibadah Saum (puasa) kita diedukasi untuk menahan nafsu dalam segala hal termasuk menahan nafsu untuk tidak belanja berlebihan khususnya terhadap produk minyak goreng yang sekarang sedang viral kelangkaannya dan viral kenaikan harganya.
Selain berdampak secara ekonomi tidak terjadi pemerataan, secara sosial tidak berperikemanusiaan juga secara budaya akibat dari perilaku panic buying mengakibatkan hilangnya identitas dan cirikhas bangsa Indonesia yaitu budaya gotong royong, saling tolong menolong, silih asah-silih asih, dan silih asuh, sudah sirna ditelan nafsu duniawi melalui penimbunan minyak goreng baik karena disengaja untuk meraup keuntungan atau karena panic buying, dan munculnya budaya individualisme dalam perekonomian, budaya kapitalisme dalam perekonomian, ini benar-benar tidak sesuai dengan palsafah negara Pancasila. Khawatir jika ini dibiarkan akan musnah budaya gotong royong dalam perekonomian di Indonesia, Naudzubilahimindzalik.
Ada satu hal yang harus kita pahami bahwa kita tidak boleh terpengaruh secara psikologis untuk ketakutan yang berlebihan sehingga memborong belanja tidak sesuai dengan kebutuhan (berlebihan). Biarkan para penimbun minyak goreng yang harus ketakutan karena masyarakat tidak bisa dipengaruhi dan belanjanya normal-normal saja. Pelan tapi pasti mereka sipenimbun membutuhkan putaran uang sebagai modal usaha, artinya tidak akan kuat menahan minyak goreng ditimbun dengan waktu yang cukup lama, yang pada akhirnya mereka akan mengeluarkan minyak goreng dari tempat penimbunannya dengan menurunkan harga jual dengan tetap mempertimbangkan masih ada untung.
Mereka sipenimbun tidak akan mempertahankan harga yang tinggi, karena masyarakat tidak mampu dipengaruhi untuk berperilaku panic buying. Semakin mudah masyarakat dipengaruhi, maka perilaku panic baying semakin tinggi, maka para pelaku penimbun semakin sorak sorai di atas penderitaan rakyat meraup keuntungan sepihak dan bersifat sementara, hal ini disadari atau tidak mekanisme pasar akan berlaku apalagi masih ada peran pemerintah, apalgi jika kita manusia berakal dan memiliki hati percaya di atas pemerintah ada Tuhan, Allah SWT.
Paparan uraian diatas dapat penulis ambil benang merahnya bahwa untuk menyikapi dan mencari solusi atas kondisi dan fenomena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng adalah peran pemerintah terus ditingkatkan sebagai pemegang otoritas kebijakan, dan kita sebagai masyarakat pengguna minyak goreng ikut berperan dengan cara tidak terpropokasi secara psikologis untuk berprilaku belanja berlebihan (panic buying).
Mari kita jaga keseimbangan pasar melalui peran pemerintah dan peran masyarakat agar perekonomian di Indonesia tetap stabil, Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dapat dirasakan kemakmurannya oleh seluruh lapisan masrakat. Insya Allah.
Penulis : Udin Ahidin, Dosen Program Studi Manajemen S-1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang Kota Tangerang Selatan