Cilegon — DPD Al-Khairiyah Kota Cilegon dan NGO Rumah Hijau menyoroti terjadinya korban jiwa di kubangan bekas tambang pasir di Jalan Lingkar Selatan (JLS) Lingkungan Temugiring RT 01/01, Kelurahan Banjarnegara, Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon.
Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup DPD Al-khairiyah Kota Cilegon, Ahmad Sulasikin mengatakan bukan sekali dua kali saja kasus yang membuat nyawa manusia melayang karena tenggelam di kubangan bekas galian C di Kota Cilegon.
“Ini bukan pertama, setahu kami sejak maraknya ekplotasi lingkungan tambang pasir seiring dengan adanya JLS sudah ada 5 kali kejadian orang tenggelam, di Kalitimbang 2 kasus, masing-masing 1 kasus Bagendung, di Taman Baru dan kini di Banjarnegara, itu baru yang ketahuan,” ungkap Sulasikin, Jumat (8/5/2020).
Pihaknya juga menuding kecerobohan para oknum pelaku tambang pasir yang seenaknya saja meninggalkan kubangan yang dalam tanpa melakukan rekondisi di lokasi bekas tambang, berupa menguruk kembali lahan yang berlubang dan melakukan penghijauan kembali dengan penanaman pohon sesuai Amdal dan Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
“Kalau mereka sesuai perizinan tentu tidak boleh dong seenaknya saja meninggalkan tanah berlubang tanpa melakukan rekondisi. Tapi apakah para pelaku tambang pasir ini berizin? Karena hampir semuanya, mereka seenaknya saja membiarkan kubangan-kubangan setelah mengeruk pasirnya jadi uang. Apalagi mau melakukan penghijauan,” tegasnya.
Selain itu, pihaknya menduga aktifitas tambang baik pasir dan batu secara keseluruhan di Kota Cilegon telah menyumbangkan dampak banjir, karena tak lepas dari adanya perubahan fungsi ruang berupa kerusakan lingkungan hidup di kawasan hulu. Sehingga air hujan yang tidak dapat terserap oleh pepohonan turun deras ke bawah sesuai sunatullah grafitasi bumi.
“Karena lahan dikeruk otomatis pohon juga kena babat, padahal sudah jelas fungsi pohon daunnya mereduksi polusi udara dan akarnya menyerap debit air hujan. Dan bisa jadi, aktifitas pembangunan JLU yang sudah membabat pepohonan di Kecamatan Grogol juga menyebabkan banjir bandang kemarin. Coba di evaluasi Amdalnya, bagaimana DED nya. Mungkin perlu dibuat drainase yang sepadan dulu, sebelum bangun konstruksi jalan,” jelasnya.
Untuk itu Sulasikin mendesak kepada pemerintah Kota Cilegon dan Provinsi Banten untuk mengavaluasi perizinan tambang di wilayah Kota Cilegon dan juga di wilayah perbatasan Cilegon-Serang yang saat ini masih terus berjalan.
“Agar dampaknya tidak meluas harus segera ditindak oleh pemerintah, penambang nakal yang membiarkan atau meninggalkan kubangan-kubangan ini diwajibkan untuk menguruknya kalau perlu bekukan izinnya, dan yang terbukti memakan korban jiwa jika perlu ada sanksi. Dan untuk tambang yang tidak ada izin aparat penegak hukum harus berani bertindak tegas,” terangnya.
“Perlu menjadi PR bersama untuk mengawasi semua izin AMDAL, dulu ketika hujan datang masyarakat menikmati sejuknya ketika hujan, tapi sekarang masyarakat was-was ketika hujan datang, yang ada ketakutan adanya banjir karena adanya kerusakan alam,” imbuhnya.
Sementara itu terpisah Direktur Eksekutif NGO Rumah Hijau, Supriyadi mengatakan pemerintah kota Cilegon tidak serius dan tidak pernah belajar terkait persoalan masalah banjir dan sebab akibat galian C.
“Dan respon dari pemerintah selama ini tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” katanya.
Menurut Supriyadi, Perlu ada kajian terkait dengan lingkungan hidup baik perusahaan yang melanggar AMDAL dan UKL dan UPL, menurut ia gunung di keruk laut di urug dan menjadi akibat, itu semuanya merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pemangku kebijakan.
“Masyarakat menjadi korban atas investasi yang tidak bertanggung jawab dan pada dasarnya masyarakat dirugikan atas pembangunan yang tidak melihat aspek lingkungan hidup,” pungkasnya [red/Ihsan]