Opini – Siapa yang tidak kenal Provinsi Banten dengan sebutan tanah jawara dan seribu ulamanya. Selain itu Banten juga pernah menjadi Provinsi pertama yang memiliki Gubernur seorang perempuan, yaitu Ratu Atut Chosiyah. Banten juga merupakan daerah yang memiliki sejarah peninggalan kerajaan yang masih ada sampai sekarang. Destisnasi pariwisata yang bisa menunjang pendapatan daerah juga banyak terdapat di Provinsi Banten. Hal tersebut menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Banten.
Namun prestasi diatas tidak berbanding lurus dengan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik bagi masyarakat. Banten sempat menjadi sorotan Indonesia dengan terbongkarnya kasus dinasti kekuasaan yang ada di daerah setelah Gubernur Banten tertangkap dalam kasus korupsi sengketa pilkada Lebak yang juga melibatkan keluarganya pada tahun 2013 silam. Berganti kepemimpinan tidak serta merta menghilangkan budaya korupsi yang ada di provinsi Banten. Kasus korupsi seolah masih menjadi penyakit yang belum bisa dihilangkan dan terus menggerogoti Banten. Pemerintah seolah bersolek diri dengan berbagai penghargaan yang diterimanya sebagai bentuk Provinsi Banten yang bersih dari korupsi.
Salah satunya seperti penghargaan yang dikeluarkan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kembali memberikan Banten opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk keempat kalinya. WTP adalah salah satu penghargaan yang diberikan oleh BPK sebagai bentuk apresiasi pemerinah pusat terhadap pengelolaan anggaran atau keuangan daerah, dimana setiap kepala daerah sebagai pemangku kebijakan dituntut memaksimalkan anggaran untuk keberlangsungan masyarakat. Seperti dilansir dari Kompas.com, dalam judul berita: Ini 4 Indikator Penentu Opini WTP dari BPK. Sekertaris Jendral Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Bahtiar Arif menjelaskan sejumlah indikator laporan keuangan hingga membentuk sebuah opini berdasarkan standar akuntansi pemerintahan yang disusun oleh komite standar akuntansi, yang ditetapkan presiden setelah mendapat pertimbangan BPK. “Mereka menyusun sebagai standar, mana yang disebut kas, penyediaan, asset tetap, penerimaan, dan lain-lain. BPK kemudian menilai sesuai standar tadi,” kata Bahtiar Arif, Sabtu (27/06/2020).
Adapun empat indikator yang menjadi faktor penentu untuk mendapatkan opini WTP. Pertama, penentuan opini WTP harus sesuai dengan indikator penilaian. Kedua, pengungkapan informasi di laporan keuangan harus jelas dan detail. Ketiga, BPK akan melihat adanya sistem pengendalian internal dari pemerintahan terkait. Keempat, pelaksanaan anggaran harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari empat indikator tersebut tidak dijelaskan sera merinci tentang pemeriksaan keuangan yang dapat menimbulkan kerugian negara serta sistem penilaian yang tidak melibatkan penegak hukum maupun pakar korupsi.
Seperti dilansir dari Merdeka.com, dalam judul berita: Diabaikan KPK, 3 kasus dugaan korupsi di Banten dilaporkan ke Bareskrim Polri. Dalam pemberitaan tersebut, Direktur Eksekutif Aliansi Alipp Uday Suhada melaporkan tiga dugaan kasus korupsi kepada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Uday menjelaskan ketiga kasus tersebut antara lain dua proyek Dinas kependidikan dan Kebubadayan di Provinsi Banten serta DinasPekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Banten. “Dugaan korupsi itu antaran lain, pengadaan komputer tahun APBD 2017 dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp. 8.374.000.000 dan tahun APBD 2018 senilai Rp. 1.260.000.000, proyek pembebasan 9 titik lahan untuk pembangunan unit sekolah baru (USB) SMKN dan SMAN tahun APBD 2017 dengan kerugian negara mencapai Rp. 12.673.342.000, serta proyek cacat lelang pembangunan jalan dan jembatan di dinas PUPR” jelasnya, Kamis (25/07/2019).
Tidak hanya itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Banten Bersih juga pernah membuat trend penindakan korupsi kurun waktu 2014 sampai 2018 di semester pertama. Hasilnya, ada 51 kasus korupsi terjadi di Banten dengan jumlah tersangka sampai 112 orang. Penelitian tersebut juga menemukan angka kerugian negara mencapai Rp. 241.000.000.000 dengan nilai suap Rp. 4.200.000.000. seperti dilansir dari detik.com, dalam judul berita: Banten dibawah bayang-bayang korupsi, Koordinator Banten Bersih, Gufroni merinci, sejak 2014 di wilayah Provinsi Banten muncul 6 kasus, Kota Serang 5 kasus, Kabupaten Serang 10 kasus, Kota Tangerang 5 kasus, Tangerang 4 kasus, Cilegon 4 kasus, Pandeglang dan Lebak 7 kasus, dengan nilai kerugian negara terbesar pada periode 2014-2018. Pertama kasus pemberian dan penggunaan kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten dicabang Tangerang dengan dugaan nilai kerugian mencapai Rp. 99.000.000.000 yang disidik Kejagung. Pembangunan Shelter tsunami di Labuan dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp. 18.000.000.000 yang disidkit Polda Banten. “Kalau kita lihat data, setelah Gubernur Atut korupsi masih menjadi tren,” kata Gufroni, Rabu (03/10/2018).
Tren korupsi juga dilakukan oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ikut dalam kasus korupsi semakin menjamur di Banten, seperti dilansir wartakota.tribunnews.com, dalam judul berita: Ngeri, 70 PNS di Banten tersandung kasus korupsi. Menanggapi hal tersebut, Kepala Inspektorat Provinsi Banten, Kusmayadi menjelaskan ada 17 orang ASN yang terlibat Tipikor sudah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS. Selain itu dirinya juga merinci total ada 70 PNS terlibat kasus korupsi, 17 orang dilingkup Provinsi Banten, 10 orang di Kabupaten Serang, 13 orang di Kabupaten Pandeglang, 3 orang di Kabupaten Lebak, 11 orang Kabupaten Tangerang, 7 orang Kota cilegon, 3 orang Kota Serang, dan 6 orang Kota Tangerang Selatan. “Total keseluruhan berjumlah 70 orang ASN. Kasus korupsi di Dinas Pendidikan Provinsi Banten juga saat ini sedang dalam pemeriksaan.” jelasnya Senin (08/04/2019).
Dari berbagai macam kasus korupsi diatas akhirnya, budaya korupsi tidak menghilang di Provinsi Banten yang berbanding terbalik dengan penghargaan opini WTP yang dikeluarkan oleh BPK. Ketidak seriusan dalam menangani kasus korupsi menjadi salah satu bukti ketidak seriusan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih. WTP seharusnya bukan hanya menjadi penghargaan yang bersifat seremonial belaka atau menjadi ajang bergengsi bagi pemangku kebijakan daerah. Kedepannya, penilaian yang dilakukan oleh BPK juga harus menyasar pada pertimbangan perhatian pemerintah daerah dalam menyelesaikan kasus korupsi dengan dibuktikan penurunan angka korupsi yang terjadi. Sudah saatnya hari ini harus ada keseriusan dalam menyelesaikan kasus korupsi yang menjadi fokus utama dari pemerintah daerah maupun pusat.
Penulis : Rini Ananing (Jurnalis)