Serang – Menjadi garda terdepan dalam menangani pasien Covid-19 tentu banyak suka dan duka, begitu berat menjadi tim medis. Sebagai garda terdepan mereka harus memastikan pasien tertangani dengan baik, tetapi juga harus memikirkan keselamatan mereka sendiri.
Alat pelindung Diri (APD) menjadi wajib bagi para dokter yang menangani pasien Covid-19, seluruh tubuh harus dilindungi dari kepala, wajah, baju, sarung tangan sampai pelindung kaki.
Hal tersebut pun dialami Siti Noviyanti (27) yang bertugas menangani kasus Covid-19 di rumah sakit rujukan Covid-19, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banten.
Ia menceritakan dengan nada ramah suaranya pun tak mengisaratkan lelah, bahkan optimis terus berjuang meski merasakan menggunakan APD untuk pertama kali ia bertugas harus mengeluh karena merasa tidak nyaman.
“Pokoknya pertama tama ga nyaman lah. Udah kaya pengen menyerah itu 6 jam udah pengen copot udah pengen lari, bahkan buang air kecil itu harus ditahan tahan,” tutur Dokter Siti Noviyanti saat berbincang bersama Komunitas Jurnalis Lecture di Kota Serang, Jumat (15/5/2020).
Saat ini Siti Noviyanti merasa bersykur karena APD mulai banyak, semenjak banyak orang memberitakan soal APD yang kurang. Baginya pemberitaan tersebut cukup membantu.
“Kalau sekarang alhamdulillah APD banyak semenjak orang – orang banyak ngepush APD kurang APD kurang. Itu bagus loh. Iya Pemberitaan itu cukup membantu,” imbuhnya.
Disisi lain kadang dirinya juga merasa kesal dengan adanya masyarakat yang masih saja tidak menghiraukan sosial distancing, namun ia menyadari memang mengedukasi masyarakat luas tidak mudah.
“Pertama – tama kita ingin ngasih tahu ini ada masalah loh yang bikin kita ini, taruhannya nyawa, ada masalah yang harusnya kita berhati – hati. Nah harus dikasih tahu efeknya begini nih baru didengerin,” ujarnya.
Siti Noviyanti juga mengalami dimana pase lelah agar masyarakat mengerti tetap dirumah saja serta menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
“Jujur kita mengalami pase lelah dan sudahlah gitu. Soalnya kita juga aga lelah ini kita sudah koar – koar buat dirumah aja butuh penanganan, karantina begitu,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, diantara para timmedis yang bertugas yang paling dilematis yaitu perempuan yang mempunyai anak, pasalnya seorang perempuan biasanya mengurus anak.
“Mereka (petugas medis) biasanya curhat bagaimana yah anak saya? Kalau pertama pembentukan rumah sakit Covid-19 curhatannya itu minta izin ke suaminya, terus bagaimana diizinin ga, anak saya nanti nanyain mamahnya, terus pulang juga dia membawa (virus) tidak gitu kan. Paling kaya dilematis disitu,” lanjutnya .
Kalau rindu keluarga paling – paling lewat telepon, pokonya, sambung Noviyanti, itu saling tabah – tabahan aja. Sebab dirinya pun juga tidak bisa mengatakan mereka rindu seberapa berat.
Siti Noviyanti pun merasakan situasi kecemasan keluarganya terhadap dirinya. Disisi lain ia harus meyakinkan terhadap keluarganya bahwa dirinya sehat, namun kata dia, seiring berjalannya waktu kehawatiran keluarganya mulai berkurang.
“Kalau saya sama keluarga biasanya ditelepon sama keluarga udah makan apa blum. Tapi di RSUD kita dijamin. Saya harus meyakinkan keluarga saya karena kebetulan saya ini anak bungsu dari 7 bersaudara. Tapi kalau sekarang pertanyaan seperti bagaiamana kabarnya sudah berkurang,” ungkapnya menceritakan.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, Siti Noviyanti percaya ketika kebaikan yang disalurkan secara bersama – sama badai akan berlalu dan manusia akan hidup normal kembali. Itu pun, kata dia, yang memotivasinya untuk bertahan.
“Jadi kita harus mendukung bahwasanya cara yang terbaik adalah memanusiakan manusia, Insya Allah badai ini akan berlalu,” tandasnya. [red/Rini]